Mengarungi perjalanan bagitu sangat
berkesan, tetap berjalan menyusuri hutan produksi dan perkebunan rakyat pada
hari yang mungkin buat mereka adalah tantangan. Siang itu kami mulai
melangkahkan kaki meninggalkan rumah untuk menggapai mimpi-mimpi yang telah
melayang di dalam kepala kami.
Langkah demi langkah kami mulai
mendaki dengan ketenangan yang tak mungkin bisa dipikirkan dengan kepala biasa.
Segalanya penuh dengan tantangan. Itu yang kami sebut sebagai komitmen sahabat (Sebutan untuk kawan-kawan Gema Padi) yang tidak pernah kami khianati. Belum lagi
perlengkapan serta bekal yang membuat langkah kami terasa berat. Memilih untuk
mundur ataukah terus melangkah.
Tidak
pernah terlintas di pikiran kami bahwa siang itu sudah mulai terasa dingin
karena mendung. Yah mendung yang memberikan kehangatan pada tubuh kami pada
saat kami mendaki gunung untuk bisa berdiri di atas puncaknya. Puncak Kie Matubu Tidore yang indah itu. Lelah
dan haus adalah tantangan yang pertama kami hadapi. Sekiranya hanya tantangan
yang satu ini memang paling berat buat kami. Ternyata di tengah perjalan kami
mendaki di sambut lagi dengan tantangn yang dua. Karena sore itu langit mulai
gelap bertanda hujan. Dan ternyata tak lama kamipun basah karena derasnya hujan.
yang membasahi seluruh perlengkapan dan peralatan kami. Inilah tantangan yang
kedua yang saya maksud.
Kami terus melewati banyak tantangan
yang semestinya tidak mungkin kita lewati dengan nyali yang kecil jiwa yang
takut dan komitmen yang rapuh. Dari hutan liar dan lereng-lereng gunung yang
curam. Lelah dan haus sudahlah biasa dalam perjalan setiap orang mendaki puncak
gunung yang satu ini. Belum lagi dengan keluhan teman-teman yang tak mampu
mendaki. Keterpaksaan yang dibarengi dengan komitmen yang saya sebut sebelumnya
menjadi akomodasi utama mengarungi jerami-jerami tua yang tak terurus di tengah
perjalanan.
Di
tengah perjalanan untuk mengukur kekuatan dan perbekalan kami ternyata telah
terkuras habis karena hujan sore itu telah membasahi dan membuat tubuh kami
menjadi dingin dan tak mampu lagi untuk mendaki. Namun inilah niatan kami
sebelum kami mulai mendaki. Pantang mundur dan tetap melaju mendaki hingga
puncak Gunung Tidore mulai kami
dekati. Disinilah tantangan yang paling berat yang kami temukan dalam perjalan
ini.
Matahari mulai menyambut senja yang
membuat birunya warna langit manjadi kemerah-merahan. Semakin kami mendaki
semakin gelap pula hutan liar yang ada di sekeliling kami. Ketakutan mulai
menghantui satu persatu, yang kami takuti jangan sampai ada hal yang tidak kami
inginkan terjadi setelah malam nanti. Kurang lebih setengah perjalan dan
semakin dekat dengan puncak ternyata apa yang kami bayangkan sebelumnya telah
terjadi.
Kami tak dapat menemukan lagi
jejak-jejak para pendaki sebelumnya yang kami yakini sebagai jalan tua yang
sudah mulai di tutupi rerumputan puncak yang subur itu. Semakin dekat melangkah
dan menggapai mimpi kami. Ternyata satu tebing yang sangat curam dan gelap
telah menyambut kami yang tegar bercampur rasa takut. Isi kepala mulai
menganalogikan dan menterjemahkan ketakutan dan ketidak berhasilnya menggapai
puncak itu. Bisikan penghuni hutan melonglong telinga kami dan menambah rasa
yang takut tadi menjadi gelisah. Karena tak ada tanda-tanda atau jejak lagi menuju mimpi kami.
Masih saja berputar-putar di kaki tebing
yang gelap itu untuk menemukan jejak-jejak para pendaki sebelumnya.
Alhasil semakin tidak percaya karena kami berada di atas tebing.
Beberapa saat kemudian setelah kami temukan jejak sebelumnya telah
didaki oleh para pendaki gunung. Kami tak mampu lagi berjalan di tengah
semak belukar yang gelap itu. Kamipun lebih memilih untuk membuat tempat
perkemahan kami. Tenda kecil yang ukurannya hanya 2x3 meter. Inilah
cara kami menantang ketakutan, lelah dan juga kegelapan di kaki puncak Kie Matubu Tidore.
Satu persatu keluhan mulai datang menghantam isi kepala yang membuat
kami lebih bingung lagi. Hanya mampu berdiam diri dan nyalakan api
dengan batang pohon yang kering. Tak lama kemudian kami bisa mencicipi
kopi hangat suguhan teman kami yang sungguh-sungguh berusaha menyalakan
api di bawah rintik hujan malam itu. Sambil menunggu datangnya sang
fajar, kamipun masih tetap tegang dan riang dengan pakaian yang basah
karena hujan membasahi kami pada perjalanan siang tadi.
Pukul 04.00 (pagi) kami mulai persiapkan
diri untuk menyambut sang fajar dan matahari pagi di atas puncak impian
kami. Setelah semua perlengkapan dan peralatan kami siapkan. Kami mulai
menyusuri kembali dinding-dinding batu tajam yang terjal dan licin.
Inilah tantangan kami yang terakhir sebelum kami menggapai puncak impian
kami.
Kiri,
kanan, depan maupun belakang sudah terlihat dengan jelas sang fajar menyemburat
kaki bumi yang hijau ini. Sang mentari pagi memberikan tanda kepada seluruh
penduduk bumi bahwa siang telah menjemput kami semua. Kamipun sadar dengan
keadaan serta suasana yang dingin. Dan ternyata kamipun sampai pada puncak
impian kami tepat pada pukul 07.00 pagi. Legah, lelah bercampur kehabisan
tenaga yang terkuras kerana tantangan kami yang terakhir hanya tebing bebatuan
llicin. Itulah kami, yang bermimpi, bekerja, berusaha dan menggapai hasilnya
dengan tangan, kaki dan jerih payah kami. Puncak
Kie Matubu Tidore adalah mimpi yang melintasi fikiran dan kepala kami yang
tegar tanpa mempertimbangkan apa tantangannya. Kini kami berlima telah berdiri
diatas puncak mimpi kami. Di sana ternyata menyimpan berjuta keajaiban yang
tidak ada dilingkun lain, lingkungan yang sehat, udara yang segar dan suasana
yang sangat luar biasa yang kami temukan dalam hidup kami. Hidup mimpi kami,
mimpi kita, mimpi sahabat Gema Padi. Yah….Puncak
Kie Matubu Tidore.